Selasa, 12 April 2016

Sejarah Berdirinya Yayasan Islam An- Nafi’iyah Kampak Geger Bangkalan


Oleh : Nur Laily Mudzakkir, Lc

BAGIAN 1

Gambaran Umum
Dusun Batu Kapah Desa Kampak Kec. Geger Bangkalan
Pada tahun 1980 an, masyarakat di Desa Kampak tepatnya Dusun Batu Kapah dan sekitarnya masih memiliki keyakinan yang pincang dalam menilai ilmu pengetahuan. Perlu diakui bahwa Masyarakat saat itu begitu antusias untuk ikut dan mengikutkan anak mereka ke sebuah pengajian Al-Quran di Mushola-mushola karena menganggap ilmu agama sangatlah penting sebagai bekal dunia dan akhirat, itu jelas tida salah, kesalahan yang mereka lakukan adalah, mereka tidak mau belajar di Sekolah Sekolah Umum karena selain beranggapan bahwa ilmu Umum bukan ilmu yang bisa menjadi bekal ke akhirat mereka juga tidak bersekolah karena takut pada suntikan.
Di Musholla mereka belajar mengaji pada ustad atau kiyai yang dianggap mumpuni mengajarkan ilmu al-quran. Salah satu lokasi yang membuka pengajian tersebut adalah di kediaman KH. Nafii di Dusun Batu kapah. Beliau adalah tokoh masyarakat yang cukup dikenal memiliki dua karakter, siang dan malam. Di Malam hari dan Subuh petang beliau adalah kiyai musholla yang dikenal cukup ketat dalam mengajarkan Pendidikan Al Quran, para anak didik harus benar-benar belajar memperbaiki kesalahan mengaji sebelum setoran dan menghadap ke beliau jika tida ingin terkena amarah beliau. Beliau begitu teliti dalam mengajarkan Al-Quran dan juga pada malam sesudah berjamaah isyak beliau mengajar Kitab Kafrawi. Murid mengaji tersebut menginap sampai subuh.
Seusai Sholat Dhuha beliau berubah menjadi seorang petani pekerja keras, beliau bekerja tanpa kenal waktu selain waktu beribadah, cangkul merupakan salah satu tasbih Kh. Nafi’I, karena beliau beranggapan bahwa seorang muslim selain kuat dalam bidang keilmuan juga harus kuat dari segi ekonomi nya. Tak heran jika Kh. Nafii adalah seorang yang dikenal sebagai petani yang luar biasa sukses, hampir seluruh tanah yang ada di Desa Kampak adalah milik beliau, hasil pertanian milik beliau juga sangat pesat. Sapi beliau berjumlah ratusan yang dipekerjakan ke orang-orang desa, hasilnya beliau bagi berdua. Beliau juga menjadi rujukan orang desa yang ingin barter bahan pokok makanan. Saat itu orang desa Kampak belum punya cukup uang sehingga jika perlu sesuatu maka menggunakan barter antara barang ke barang. KH. Nafii tahu bahwa diri beliau adalah seorang hartawan namun beliau sadar bahwa itu bukan lah tujuan utama untuk melanjutkan hidup dengan bermewah-mewah terbukti dengan meskipun beliau memilki tanah yang banyak, beliau tidak pernah merenovasi rumah sebagai tempat tinggal beliau bersama istri dan kelima anaknya, selain karena pada masa itu uang sangatlah sulit didapatkan sehingga pertukaran barang juga menggunakan sistem barter, beliau juga merasa lebih nyaman hidup apa adanya, sampai akhir hayat beliau tetap tinggal di gubuk kecil berdinding bambu serta musholla tempat mengaji anak-anak pun hanyalah mushola yang terbuat dari bambu, dibangun persis ditengah hutan lebat yang di kelilingi sungai-sungai besar yang mempersulit akses tranportasi untuk keluar Kampung.
Kh. Nafii wafat meninggalkan seorang istri, Nyai Hj. Maimunah yang biasa dikenal dengan panggilan Nyik Lasem dan 5 anak, sebenarnya beliau 13 Putra – Putri. Namun dari ke 13 anak beliau yang hidup sampai dewasa dan memiliki keturunan hanya 5 orang yang terdir dari 4 Putra (H. Kholili, H. Abdul Qodir, H. Abdul Aziz, H. Mudzakkir) dan 1 Putri (Hj.Ruqoyyah). Sebagai bungsu dari banyak saudara, H. Mudzakkir mendapat warisan tanah yang ditempati abahnya, KH. Nafii yang berlokasi di dusun Batu Kapah Kampak Geger, yang saat itu masih berupa hutan lebat. Sementara kakak-kakak beliau menempati tanah abahnya yang berada di sekitar pinggir jalan desa Kampak. Di Batu kapah, KH. Nafii meninggalkan musholla dan santri mengaji untuk dilannjutkan oleh putra bungsunya, H.Mudzakkir.

Awal Mula Berdiri nya Lembaga
 
Musholla An-Nafi'iyah Tahun 2010
Bermula dari percakapan kecil antara Kh. Mudzakkir, putera bungsu dari Kh. Nafii, dengan istrinya, Nyai Hj. Badriyah,  yang kala itu baru memiliki satu Puteri berusia 47 hari pada tanggal  17 Januari 1988. Kh. Mudzakkir menyampaikan kerisauannya melihat banyaknya penduduk kala itu yang tidak bisa baca tulis huruf latin bahkan huruf Arab juga kadang tidak bisa menulis meskipun perlu diaui bahwa masyarakat kala itu pintar membaca Al-Quran, karena itu Kh, Mudzakkir merasa apa yang beliau dapatkan selama meratau untuk mencari Ilmu di PP. Panyepen Pamekasan, PP. Syaikhona Moh. Kholil Bangakalan, PP. Sidogiri Pasuruan, Majlis Ta’lim Syeikh Ismail Mekkah, harus mampu beliau tularkan kepada khayalak yang membutuhkan, beliau menyampaikan keinginan tersebut secara serius yang ternyata ditanggapi oleh Nyai Hj. Badriyah dengan serius, Nyai juga merasakan hal yang sama dengan suaminya, meski lahir di Madura, Nyai besar di Gresik karena orang tua beliau, Abah Asy’ari dan Nyik Musyafiah (allahumafirlahuma) merantau ke Gresik dan beliau pernah nyantri di PP. Salafiyah Bangil. Didikan Gresik dan Pesantren cukup membentuk karakter pendidik yang kuat pada diri Nyai Hj. Badriyah, sering ketika beliau mudik ke Madura, orang-orang Madura memintakan beliau membacakan surat dari keluarga yang pergi merantau, bahkan mirisnya, Nyai pernah membacakan kepada seorang istri surat dari suaminya yang ternyata adalah surat cerai dan itu dikirim cukup lama namun belum ada yang paham karena tidak ada yang bisa membaca. Setelah dipikir-pikir, Kh. Mudzakkir berencana mendirkan sekolah Diniyah, karena menurut beliau, pendidikan Agama jauh sangat prioritas, namun usulan tersebut di kritisi oleh Nyai dengan solutif, Nyai mengusulkan untuk mendirikan MIN (Madrasah btida’iyah Negeri) yang memuat kurikulum Agama juga pelajaran Umum. Kiyai langsung setuju dan kemudian mendirikan MIN yang kemudian diganti  MI karena baru tahu jika istilah Negeri hanya digunakan untuk sekolah milik Pemerintah. Tepat pada hari rabu, tanggal  27 Januari 1988 Kh. Mudzakkir dan Nyai Hj. Badriyah membuka MI dengan mengumpulkan anak-anak didik yang mengaji kepada beliau di Surau pada malam dan subuh hari.  Dengan memakai fasilitas seadanya yang berupa balai kecil yang terbuat dari bambu yang berlubang disana-sini, Nyai memulai sekolah tersebut dengan pembukaan Basmalah dan doa doa penuh pengharapan dan barokah. Saat itu kondisi MI sangatlah memprihatinkan, selain tidak memiliki kelas yang kondusif, balai tersebut juga menumpang dari rumah kecil milik Kiyai dan Nyai, dhalem kecil Kiyai dan Nyai juga surau terbuat dari bambu, yang jika musim panas kepanasan dan musim hujan kehujanan apalagi lokasinya  berada persis ditengah hutan yang memiliki pohon-pohon besar dan dikelilingi sungai sehinggga akses transportasi untuk keluar dari Dusun saat tu sangat kesulitan, termasuk listrik, saat itu listrik belum masuk ke desa, untuk memfasilitasi pengajjian di Surau, Kiyai dan Nyai mengunakan lampu minyak yang sering mati tertiup angin dan harus sering dinyalakan kembali. Demi menghidupi keluarga dan cita-cita lembaga, Kiyai dan Nyai harus bekerja keras, karena untuk meminta uang sumbangan pada siwa saat itu sangat tidak mungkin karena siswa saat itu juga berasal dari keluarga tidak mampu. Nyai Badriyah lebih banyak fokus di MI sampai 3 tahun beliau hanya mengajar seorang diri,  Kiyai Mudzakkir juga ikut membantu namun beliau lebih banyak fokus di pengajian Surau untuk meneruskan pengabdian Abahnya,Kh. Nafii, serta Usaha, beliau membukan usaha Batu Bata dan memilki lima lokasi pembuatan Batu Bata, dua lokasi pembuatan genting dan seperti masyarakat umumnya beliau juga bertani di sawah. Namun usaha beliau kandas ditengah jalan. Demikian usaha Kiyai Mudzakkir hingga akhirnya 3 tahun kemudian sekitar pertengahan tahun 1990 , beliau mampu untuk sedikit merenovasi kelas yang semula berdinding bambu menjadi bersemen. Pernah juga beliau di tegur oleh Departemen Agama karena melaksanakan sekolah Diniyah pagi hari, setelah beliau menjelaskan bahwa itu bukan sekolah Diniyah biasa tapi Madrasah Ibtidaiyah yang mencakup kurikulum agama dan umum akhirnya Departemen Agama justru mendukung.
Keprihatinan Pengasuh terhadap masyarakat rupanya tida di bidang kelmuan saja, namun dari segi sosial dan ekonomi. Pada tahun 1986-1987 beliau berusaha mempermudah akses tansportasi  masyarakat, Kh. Mudzakkir juga mulai membangun jembatan yang menjamur di daerah Batu kapah, menjadi jembatan bersemen di atas sungai yang semula hanya berupa jembatan yang terbuat dari beberapa bambu dan membuat jalanan, membakar hutan-hutan yang dianggap menggangu jalan agar bisa di gunakan masyarakat luas, juga memperluas sumber mata air  di Dengkonyik yang tadinya hanya sumber kecil yang tidak diperhatikan masyarakat. Semua usaha Kh. Mudzakkir dalam membantu masyarakat tersebut bermodalkan hutang bahkan sering kali beliau bekerja  di bawah terik panas matahari seorang diri tanpa ada yang membantu.
Kelahiran nama yayasan
Kh. Mudzakkir selama nyantri di Syeikh Muhammad bin Ismail Al Yamani Mekkah, beliau juga bekerja sampingan menjadi Koki (juru masak) untuk satu Perusahaan Travel Besar di Indonesia yang di pimpin oleh Bapak H. Amir Syah Thobroni, seorang jutawan yang dermawan. Dari beliau pula Kh. Mudzakkir Nafii banyak belajar tentang arti perjuangan dan ketidak putusasaan dalam berusaha. Sekembalinya dari Mekkah ke Indonesia, beliau mendapat tawaran untuk menjadi petugas Travel Patuna yang berada di Mekkah dengan tawaran gaji yang lumayan pada saat itu, namun beliau menolak denga halus tawaran tersebut dan mengungkapkan  keinginan beliau untuk membangun sebuah Lembaga Pendidikan seperti yang diceritakan di atas. Respon dari Bapak Amirsyah diluar dugaan, beliau tidak kecewa apalagi marah sebaliknya beliau mendukung penuh keinginan tersebut.  Bahkan beliau banyak sekali memberi sumbangan fisikal atau mental. Fisikal berupa pembangunan kantor untuk guru pada tahun 1991 dan fasilitas sekolah seperti bangku, kursi dll. Mental berupa dorongan beliau agar Lembaga segera diresmikan ke Piha Pemerintah karena sudah hampir 4 tahun berdiri, beliau juga memberi dorongan agar selalu ikhlas dan tidak mengharapkan nama besar dihadapan manusia, beliau juga yang mengajak Kiyai Mudzakkir untuk melkukan studi banding ke pondok-pondok besar yang beliau kenal agar Lembaga yang baru dibangun ini memiliki bekal dan gambaran kemajuan. Lembaga baru ini memiliki lahan yang cukup luas namun pada masa itu kesulitan ekonomi untuk pembangunan dan operasional sangat sulit. Pada kunjungan ketiga kali nya ke Lembaga ini, yaitu pada tanggal 7 bulan Juli 1991, sekali lagi beliau membagi-bagikankan uangnya pada masyarakat sebagimana kunjungan sebelumnya, oleh sebabnya tidak keliru jika Bapak H. Amir Syah dan Istri, bu Hj. Ema Murtika di daulat untuk meresmikan Pendirian Yayasan.
1 tahun kemudian atas dorongan Bapak H. Amir Syah untuk meresmikan Lembaga menjadi Yayasan agar cakupan lebih luas, kiyai Mudzakkir segera mendaftarkan Yayasan ke Notaris Mazwar,SH. Dan terdaftar dengan nomor notaris, Mazwar,SH. No 7 Tgl 22 februari tahun 1993, menyusul MI pun terdaftar di Kemenag pada tahun yang sama.  
Sebelum peresmian, Kiyai Mudzakkir dan Nyai Baridyah sempat berpikir untuk memberikan nama yang pas untuk yayasan, setelah melalui pemikiran yang matang dan berdoa akhirnya jatuhlah pilihan nama Yayasan Islam Al-Amiriyah An-Nafi’iyah, Al-Amiriyah dicatut dari nama bapak Amir Syah Thobroni dan An-NAfi’iyah diambil dari nama orang tua kansung kiyai Mudzakkir, Kh. Nafii.  Ketika pemotongan pita peresmian Yayasan oleh Bapak Amir Syah dipakai lah nama tersebut namun setelah  itu Bapak Amir mengungkapkan bahwa beliau tidak berkenan namanya dipakai sebagai nama Yayasan karena khawatir keikhlasannya berubah.

Lanjut ke Bagian 2
An-Nafi’iyah dari masa ke Masa