Oleh : Nur Laily Mudzakkir, Lc
BAGIAN 1
Gambaran Umum
Dusun Batu Kapah Desa Kampak Kec. Geger Bangkalan
Dusun Batu Kapah Desa Kampak Kec. Geger Bangkalan
Pada
tahun 1980 an, masyarakat di Desa Kampak tepatnya Dusun Batu Kapah dan
sekitarnya masih memiliki keyakinan yang pincang dalam menilai ilmu
pengetahuan. Perlu diakui bahwa Masyarakat saat itu begitu antusias untuk ikut
dan mengikutkan anak mereka ke sebuah pengajian Al-Quran di Mushola-mushola
karena menganggap ilmu agama sangatlah penting sebagai bekal dunia dan akhirat,
itu jelas tida salah, kesalahan yang mereka lakukan adalah, mereka tidak mau
belajar di Sekolah Sekolah Umum karena selain beranggapan bahwa ilmu Umum bukan
ilmu yang bisa menjadi bekal ke akhirat mereka juga tidak bersekolah karena
takut pada suntikan.
Di
Musholla mereka belajar mengaji pada ustad atau kiyai yang dianggap mumpuni
mengajarkan ilmu al-quran. Salah satu lokasi yang membuka pengajian tersebut
adalah di kediaman KH. Nafii di Dusun Batu kapah. Beliau adalah tokoh
masyarakat yang cukup dikenal memiliki dua karakter, siang dan malam. Di Malam
hari dan Subuh petang beliau adalah kiyai musholla yang dikenal cukup ketat
dalam mengajarkan Pendidikan Al Quran, para anak didik harus benar-benar
belajar memperbaiki kesalahan mengaji sebelum setoran dan menghadap ke beliau
jika tida ingin terkena amarah beliau. Beliau begitu teliti dalam mengajarkan
Al-Quran dan juga pada malam sesudah berjamaah isyak beliau mengajar Kitab
Kafrawi. Murid mengaji tersebut menginap sampai subuh.
Seusai
Sholat Dhuha beliau berubah menjadi seorang petani pekerja keras, beliau
bekerja tanpa kenal waktu selain waktu beribadah, cangkul merupakan salah satu
tasbih Kh. Nafi’I, karena beliau beranggapan bahwa seorang muslim selain kuat
dalam bidang keilmuan juga harus kuat dari segi ekonomi nya. Tak heran jika Kh.
Nafii adalah seorang yang dikenal sebagai petani yang luar biasa sukses, hampir
seluruh tanah yang ada di Desa Kampak adalah milik beliau, hasil pertanian
milik beliau juga sangat pesat. Sapi beliau berjumlah ratusan yang dipekerjakan
ke orang-orang desa, hasilnya beliau bagi berdua. Beliau juga menjadi rujukan
orang desa yang ingin barter bahan pokok makanan. Saat itu orang desa Kampak
belum punya cukup uang sehingga jika perlu sesuatu maka menggunakan barter
antara barang ke barang. KH. Nafii tahu bahwa diri beliau adalah seorang
hartawan namun beliau sadar bahwa itu bukan lah tujuan utama untuk melanjutkan
hidup dengan bermewah-mewah terbukti dengan meskipun beliau memilki tanah yang
banyak, beliau tidak pernah merenovasi rumah sebagai tempat tinggal beliau
bersama istri dan kelima anaknya, selain karena pada masa itu uang sangatlah
sulit didapatkan sehingga pertukaran barang juga menggunakan sistem barter,
beliau juga merasa lebih nyaman hidup apa adanya, sampai akhir hayat beliau
tetap tinggal di gubuk kecil berdinding bambu serta musholla tempat mengaji
anak-anak pun hanyalah mushola yang terbuat dari bambu, dibangun persis
ditengah hutan lebat yang di kelilingi sungai-sungai besar yang mempersulit
akses tranportasi untuk keluar Kampung.
Kh.
Nafii wafat meninggalkan seorang istri, Nyai Hj. Maimunah yang biasa dikenal
dengan panggilan Nyik Lasem dan 5 anak, sebenarnya beliau 13 Putra – Putri.
Namun dari ke 13 anak beliau yang hidup sampai dewasa dan memiliki keturunan
hanya 5 orang yang terdir dari 4 Putra (H. Kholili, H. Abdul Qodir, H. Abdul
Aziz, H. Mudzakkir) dan 1 Putri (Hj.Ruqoyyah). Sebagai bungsu dari banyak
saudara, H. Mudzakkir mendapat warisan tanah yang ditempati abahnya, KH. Nafii yang berlokasi di dusun Batu Kapah Kampak Geger, yang saat itu masih
berupa hutan lebat. Sementara kakak-kakak beliau menempati tanah abahnya yang
berada di sekitar pinggir jalan desa Kampak. Di Batu kapah, KH. Nafii
meninggalkan musholla dan santri mengaji untuk dilannjutkan oleh putra
bungsunya, H.Mudzakkir.
Awal Mula Berdiri nya Lembaga
Musholla An-Nafi'iyah Tahun 2010
Bermula
dari percakapan kecil antara Kh. Mudzakkir, putera bungsu dari Kh. Nafii,
dengan istrinya, Nyai Hj. Badriyah, yang
kala itu baru memiliki satu Puteri berusia 47 hari pada tanggal 17 Januari 1988. Kh. Mudzakkir menyampaikan
kerisauannya melihat banyaknya penduduk kala itu yang tidak bisa baca tulis
huruf latin bahkan huruf Arab juga kadang tidak bisa menulis meskipun perlu
diaui bahwa masyarakat kala itu pintar membaca Al-Quran, karena itu Kh,
Mudzakkir merasa apa yang beliau dapatkan selama meratau untuk mencari Ilmu di
PP. Panyepen Pamekasan, PP. Syaikhona Moh. Kholil Bangakalan, PP. Sidogiri
Pasuruan, Majlis Ta’lim Syeikh Ismail Mekkah, harus mampu beliau tularkan
kepada khayalak yang membutuhkan, beliau menyampaikan keinginan tersebut secara
serius yang ternyata ditanggapi oleh Nyai Hj. Badriyah dengan serius, Nyai juga
merasakan hal yang sama dengan suaminya, meski lahir di Madura, Nyai besar di
Gresik karena orang tua beliau, Abah Asy’ari dan Nyik Musyafiah
(allahumafirlahuma) merantau ke Gresik dan beliau pernah nyantri di PP.
Salafiyah Bangil. Didikan Gresik dan Pesantren cukup membentuk karakter pendidik
yang kuat pada diri Nyai Hj. Badriyah, sering ketika beliau mudik ke Madura,
orang-orang Madura memintakan beliau membacakan surat dari keluarga yang pergi
merantau, bahkan mirisnya, Nyai pernah membacakan kepada seorang istri surat
dari suaminya yang ternyata adalah surat cerai dan itu dikirim cukup lama namun
belum ada yang paham karena tidak ada yang bisa membaca. Setelah dipikir-pikir,
Kh. Mudzakkir berencana mendirkan sekolah Diniyah, karena menurut beliau, pendidikan
Agama jauh sangat prioritas, namun usulan tersebut di kritisi oleh Nyai dengan
solutif, Nyai mengusulkan untuk mendirikan MIN (Madrasah btida’iyah Negeri)
yang memuat kurikulum Agama juga pelajaran Umum. Kiyai langsung setuju dan
kemudian mendirikan MIN yang kemudian diganti
MI karena baru tahu jika istilah Negeri hanya digunakan untuk sekolah
milik Pemerintah. Tepat pada hari rabu, tanggal
27 Januari 1988 Kh. Mudzakkir dan Nyai Hj. Badriyah membuka MI dengan
mengumpulkan anak-anak didik yang mengaji kepada beliau di Surau pada malam dan
subuh hari. Dengan memakai fasilitas
seadanya yang berupa balai kecil yang terbuat dari bambu yang berlubang
disana-sini, Nyai memulai sekolah tersebut dengan pembukaan Basmalah dan doa
doa penuh pengharapan dan barokah. Saat itu kondisi MI sangatlah
memprihatinkan, selain tidak memiliki kelas yang kondusif, balai tersebut juga
menumpang dari rumah kecil milik Kiyai dan Nyai, dhalem kecil Kiyai dan Nyai
juga surau terbuat dari bambu, yang jika musim panas kepanasan dan musim hujan
kehujanan apalagi lokasinya berada
persis ditengah hutan yang memiliki pohon-pohon besar dan dikelilingi sungai
sehinggga akses transportasi untuk keluar dari Dusun saat tu sangat kesulitan,
termasuk listrik, saat itu listrik belum masuk ke desa, untuk memfasilitasi
pengajjian di Surau, Kiyai dan Nyai mengunakan lampu minyak yang sering mati tertiup
angin dan harus sering dinyalakan kembali. Demi menghidupi keluarga dan
cita-cita lembaga, Kiyai dan Nyai harus bekerja keras, karena untuk meminta
uang sumbangan pada siwa saat itu sangat tidak mungkin karena siswa saat itu
juga berasal dari keluarga tidak mampu. Nyai Badriyah lebih banyak fokus di MI
sampai 3 tahun beliau hanya mengajar seorang diri, Kiyai Mudzakkir juga ikut membantu namun
beliau lebih banyak fokus di pengajian Surau untuk meneruskan pengabdian
Abahnya,Kh. Nafii, serta Usaha, beliau membukan usaha Batu Bata dan memilki
lima lokasi pembuatan Batu Bata, dua lokasi pembuatan genting dan seperti
masyarakat umumnya beliau juga bertani di sawah. Namun usaha beliau kandas ditengah
jalan. Demikian usaha Kiyai Mudzakkir hingga akhirnya 3 tahun kemudian sekitar
pertengahan tahun 1990 , beliau mampu untuk sedikit merenovasi kelas yang
semula berdinding bambu menjadi bersemen. Pernah juga beliau di tegur oleh Departemen
Agama karena melaksanakan sekolah Diniyah pagi hari, setelah beliau menjelaskan
bahwa itu bukan sekolah Diniyah biasa tapi Madrasah Ibtidaiyah yang mencakup
kurikulum agama dan umum akhirnya Departemen Agama justru mendukung.
Keprihatinan
Pengasuh terhadap masyarakat rupanya tida di bidang kelmuan saja, namun dari
segi sosial dan ekonomi. Pada tahun 1986-1987 beliau berusaha mempermudah akses
tansportasi masyarakat, Kh. Mudzakkir
juga mulai membangun jembatan yang menjamur di daerah Batu kapah, menjadi
jembatan bersemen di atas sungai yang semula hanya berupa jembatan yang terbuat
dari beberapa bambu dan membuat jalanan, membakar hutan-hutan yang dianggap
menggangu jalan agar bisa di gunakan masyarakat luas, juga memperluas sumber
mata air di Dengkonyik yang tadinya
hanya sumber kecil yang tidak diperhatikan masyarakat. Semua usaha Kh.
Mudzakkir dalam membantu masyarakat tersebut bermodalkan hutang bahkan sering
kali beliau bekerja di bawah terik panas
matahari seorang diri tanpa ada yang membantu.
Kelahiran nama yayasan
Kh.
Mudzakkir selama nyantri di Syeikh Muhammad bin Ismail Al Yamani Mekkah, beliau
juga bekerja sampingan menjadi Koki (juru masak) untuk satu Perusahaan Travel
Besar di Indonesia yang di pimpin oleh Bapak H. Amir Syah Thobroni, seorang
jutawan yang dermawan. Dari beliau pula Kh. Mudzakkir Nafii banyak belajar
tentang arti perjuangan dan ketidak putusasaan dalam berusaha. Sekembalinya
dari Mekkah ke Indonesia, beliau mendapat tawaran untuk menjadi petugas Travel
Patuna yang berada di Mekkah dengan tawaran gaji yang lumayan pada saat itu,
namun beliau menolak denga halus tawaran tersebut dan mengungkapkan keinginan beliau untuk membangun sebuah
Lembaga Pendidikan seperti yang diceritakan di atas. Respon dari Bapak Amirsyah
diluar dugaan, beliau tidak kecewa apalagi marah sebaliknya beliau mendukung
penuh keinginan tersebut. Bahkan beliau
banyak sekali memberi sumbangan fisikal atau mental. Fisikal berupa pembangunan
kantor untuk guru pada tahun 1991 dan fasilitas sekolah seperti bangku, kursi
dll. Mental berupa dorongan beliau agar Lembaga segera diresmikan ke Piha
Pemerintah karena sudah hampir 4 tahun berdiri, beliau juga memberi dorongan
agar selalu ikhlas dan tidak mengharapkan nama besar dihadapan manusia, beliau
juga yang mengajak Kiyai Mudzakkir untuk melkukan studi banding ke
pondok-pondok besar yang beliau kenal agar Lembaga yang baru dibangun ini
memiliki bekal dan gambaran kemajuan. Lembaga baru ini memiliki lahan yang
cukup luas namun pada masa itu kesulitan ekonomi untuk pembangunan dan operasional
sangat sulit. Pada kunjungan ketiga kali nya ke Lembaga ini, yaitu pada tanggal
7 bulan Juli 1991, sekali lagi beliau membagi-bagikankan uangnya pada
masyarakat sebagimana kunjungan sebelumnya, oleh sebabnya tidak keliru jika Bapak
H. Amir Syah dan Istri, bu Hj. Ema Murtika di daulat untuk meresmikan Pendirian
Yayasan.
1
tahun kemudian atas dorongan Bapak H. Amir Syah untuk meresmikan Lembaga
menjadi Yayasan agar cakupan lebih luas, kiyai Mudzakkir segera mendaftarkan
Yayasan ke Notaris Mazwar,SH. Dan terdaftar dengan nomor notaris, Mazwar,SH. No
7 Tgl 22 februari tahun 1993, menyusul MI pun terdaftar di Kemenag pada tahun
yang sama.
Sebelum
peresmian, Kiyai Mudzakkir dan Nyai Baridyah sempat berpikir untuk memberikan
nama yang pas untuk yayasan, setelah melalui pemikiran yang matang dan berdoa
akhirnya jatuhlah pilihan nama Yayasan Islam Al-Amiriyah An-Nafi’iyah,
Al-Amiriyah dicatut dari nama bapak Amir Syah Thobroni dan An-NAfi’iyah diambil
dari nama orang tua kansung kiyai Mudzakkir, Kh. Nafii. Ketika pemotongan pita peresmian Yayasan oleh
Bapak Amir Syah dipakai lah nama tersebut namun setelah itu Bapak Amir mengungkapkan bahwa beliau
tidak berkenan namanya dipakai sebagai nama Yayasan karena khawatir
keikhlasannya berubah.
Lanjut ke Bagian 2
An-Nafi’iyah dari masa ke Masa
Lanjut ke Bagian 2
An-Nafi’iyah dari masa ke Masa